Detikpos.id, Bandar Lampung – Dunia pers kembali diguncang dengan dugaan kriminalisasi terhadap wartawan. Seorang jurnalis dari media Tintainformasi.com Official dipanggil oleh Satreskrim Polresta Bandar Lampung untuk klarifikasi atas dugaan pelanggaran UU ITE.
Pemanggilan ini merujuk pada Laporan Polisi Nomor LP/B/1743/XI/2024/SPKT/POLRESTA BANDAR LAMPUNG, yang diajukan oleh seorang pejabat Dinas Sosial Kota Bandar Lampung, Puspasari, SE., MM. Dalam laporan tersebut, wartawan yang bersangkutan dituduh menyebarkan informasi yang dianggap mencemarkan nama baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Ayat 4 Jo Pasal 27A UU ITE.
PPWI: Kasus Ini Seharusnya Tidak Berlanjut
Menanggapi kasus ini, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, menegaskan bahwa sengketa jurnalistik seharusnya diselesaikan berdasarkan UU Pers, bukan UU ITE.
Dalam pernyataannya melalui voice note pada Rabu (12/02/2025), ia mengingatkan Bripka Eka Febrianti, SH, selaku Penyidik Tipiter Polresta Bandar Lampung, bahwa jika media telah menayangkan hak jawab dari pihak yang diberitakan, maka masalah sudah selesai.
“Pemberitaan yang sudah memberikan hak jawab adalah pemberitaan yang seimbang. Ini sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 1 ayat 11 dan 12 tentang hak jawab dan hak koreksi. Jadi, seharusnya pelaporan ini sudah tidak relevan untuk dilanjutkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Wilson Lalengke mengkritik tindakan kriminalisasi terhadap wartawan yang terus berulang di Indonesia.
“Jika setiap pemberitaan dikriminalisasi, lama-lama wartawan bisa terus dipenjara. Ini tidak sehat untuk bangsa yang menganut sistem demokrasi. Pejabat yang anti kritik sebaiknya tidak usah jadi pejabat. Kalau rakyat tidak boleh mengkritisi kinerja mereka, lebih baik mereka berhenti saja,” tegasnya.
UU PERS vs UU ITE: Sengketa Jurnalistik Seharusnya Tidak Masuk Ranah Pidana
Dalam sistem hukum Indonesia, pers memiliki perlindungan khusus berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jika terjadi perselisihan atau keberatan terhadap pemberitaan, maka mekanisme yang harus ditempuh adalah hak jawab, hak koreksi, atau penyelesaian melalui Dewan Pers.
Namun, dalam banyak kasus, pejabat sering kali melaporkan wartawan menggunakan UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 76/PUU-XV/2017 telah menegaskan bahwa sengketa pers tidak boleh dikriminalisasi jika media telah menjalankan tugasnya sesuai kode etik jurnalistik.
Wilson Lalengke pun menilai laporan ini sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh oknum pejabat.
“Jika pejabat merasa dirugikan oleh pemberitaan, gunakan hak jawab, bukan langsung membuat laporan pidana. Jangan sampai ada kesan bahwa pejabat menggunakan kekuasaannya untuk membungkam kritik,” lanjutnya.
Harapan untuk Penyidik dan Aparat Penegak Hukum
Wilson Lalengke berharap agar Bripka Eka Febrianti dan aparat kepolisian lainnya bersikap profesional dan bijaksana dalam menangani kasus ini.
“Jangan sampai ini berlarut-larut. Presiden Prabowo Subianto sudah mengingatkan bahwa aparat harus bekerja demi kepentingan rakyat, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok,” tegasnya.
Ia juga meminta agar aparat berkolaborasi dengan insan pers dalam mengawasi pelayanan publik, bukan malah menjadi alat untuk membungkam kebebasan pers.
“Pers adalah pilar demokrasi. Jangan sampai aparat penegak hukum justru ikut dalam praktik pembungkaman terhadap wartawan yang menjalankan tugasnya,” tutup Wilson Lalengke.
(Tim Detikpos.id)
Penulis: Suryanto
Pewarta: Yus