Bedah Buku “Madilog” Tan Malaka: Dari Mistika ke Logika, Warisan Intelektual untuk Bangsa

Medan, 16 Oktober 2025 – detikpos.id

detikpos.id || Tan Malaka bukan sekadar pejuang kemerdekaan yang namanya kerap dibungkam sejarah. Ia juga seorang pemikir besar yang mencoba merumuskan jalan baru bagi bangsanya. Melalui karya monumentalnya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan Malaka meninggalkan jejak intelektual yang melampaui zamannya: ajakan untuk berpikir ilmiah, kritis, dan rasional.


Latar Belakang Penulisan

Madilog ditulis pada tahun 1943, saat Tan Malaka hidup dalam pelarian di Sumatra Barat di tengah pendudukan Jepang. Dengan kondisi serba terbatas, ia menulis naskah setebal lebih dari 500 halaman, menjadikannya salah satu karya filsafat paling kompleks yang lahir dari bumi Nusantara.

Buku ini lahir dari kegelisahan mendalam: bangsa Indonesia terperangkap dalam cara berpikir mistika—percaya pada takdir, tahayul, dan kekuatan supranatural—sehingga sulit berkembang dan mudah dijajah. Tan Malaka menyadari bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai hanya dengan senjata, melainkan juga dengan revolusi pola pikir.

“Madilog bukan buku teori belaka, melainkan senjata berpikir,” begitu yang ditegaskan Tan Malaka dalam pengantar bukunya.


Isi Pokok Madilog

Tan Malaka memperkenalkan tiga pilar utama dalam berpikir:

  1. Materialisme
    Segala sesuatu berpangkal pada materi. Dunia nyata adalah dasar segala realitas. Menurutnya, bangsa Indonesia harus melihat kenyataan sosial dan ekonomi secara objektif, bukan dengan tafsir mistis.
  2. Dialektika
    Hidup dan sejarah selalu bergerak melalui pertentangan: tesis, antitesis, lalu sintesis. Tan Malaka mengadopsi metode ini untuk menjelaskan perubahan sosial-politik yang harus dipahami secara dinamis.
  3. Logika
    Cara berpikir rasional dan sistematis. Dengan logika, manusia mampu memilah benar-salah, sebab-akibat, dan mencari kebenaran berdasarkan nalar, bukan sekadar dogma atau mitos.

Dari ketiga pilar ini, lahirlah metode berpikir yang ia sebut Madilog—jalan keluar dari cara berpikir mistika menuju logika.


Kritik terhadap Mistisisme

Bagi Tan Malaka, mistisisme adalah penghalang kemajuan bangsa. Selama rakyat percaya bahwa nasib ditentukan oleh roh halus, jampi, atau nasib yang tak bisa diubah, maka kolonialisme dan feodalisme akan tetap bercokol.

Namun ia juga tegas membedakan antara agama dan mistisisme. Agama, menurutnya, adalah urusan iman pribadi. Sementara mistika adalah pola pikir pasrah dan irasional yang mengekang daya kritis. Dengan begitu, Madilog bukanlah serangan terhadap agama, melainkan ajakan untuk membebaskan nalar bangsa.


Menggugat Kolonialisme dan Feodalisme

Dalam Madilog, Tan Malaka menunjukkan bagaimana kolonialisme Belanda dan sistem feodal lokal memperkuat ketertindasan. Keduanya bertahan karena rakyat tidak terbiasa berpikir kritis.

“Selama rakyat hanya menerima perintah tanpa bertanya, maka penjajahan akan selalu menemukan tempatnya,” tulisnya.

Madilog, bagi Tan Malaka, adalah senjata intelektual untuk melawan itu semua. Ia menekankan bahwa kemerdekaan politik harus disertai kemerdekaan berpikir.


Sains sebagai Jalan Merdeka

Salah satu aspek paling menarik dari Madilog adalah bagaimana Tan Malaka membawa sains modern ke dalam diskusi filsafat. Ia membahas hukum Newton, teori atom, hingga Darwin, untuk menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus melek ilmu pengetahuan.

Menurutnya, hanya dengan penguasaan sains dan teknologi, bangsa bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain. Kemerdekaan sejati bukan sekadar mengibarkan bendera, tetapi juga membangun industri, pendidikan, dan riset yang berpijak pada metode ilmiah.


Relevansi di Era Kekinian

Lebih dari delapan dekade sejak ditulis, Madilog tetap terasa aktual.

  • Di era hoaks dan disinformasi, pesan Tan Malaka agar masyarakat kritis dan berbasis logika terasa sangat relevan.
  • Di tengah fanatisme buta dan polarisasi, ajakan Tan Malaka agar bangsa membedakan iman dengan mistisisme menjadi pelajaran penting.
  • Dalam konteks pembangunan, semangat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ia tekankan masih menjadi PR besar Indonesia hari ini.

Sejarawan Asvi Warman Adam pernah menyebut, Madilog adalah “upaya menciptakan pencerahan ala Tan Malaka,” yang setara dengan gerakan intelektual besar di Eropa, tetapi lahir dari rahim perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Gaya Penulisan yang Berat, Namun Kuat

Meski penuh gagasan besar, Madilog tidak mudah dibaca. Bahasa Indonesia lama, kalimat panjang, serta banyaknya istilah asing membuat pembaca awam mudah kewalahan. Namun justru di situlah kekuatannya: buku ini adalah bukti keseriusan Tan Malaka dalam meramu filsafat dunia ke dalam bahasa Indonesia, di masa di mana akses literatur sangat terbatas.


Penutup

Madilog adalah lebih dari sekadar buku filsafat. Ia adalah manifesto intelektual seorang pejuang kemerdekaan yang percaya bahwa bangsa Indonesia bisa merdeka bukan hanya dengan darah dan air mata, tetapi juga dengan otak dan nalar.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan teknologi hari ini, warisan Tan Malaka ini kembali bergaung: dari mistika ke logika, dari pasrah ke ilmiah, dari bangsa terjajah menuju bangsa merdeka sejati.


📌 Catatan Redaksi: Bedah Buku Minggu Ini di detikpos.id menghadirkan karya-karya monumental yang layak dibaca ulang oleh generasi sekarang. Madilog Tan Malaka menjadi pengingat bahwa kemerdekaan berpikir adalah fondasi utama kemajuan bangsa.(Tim Redaksi detikpos.id)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments