SORONG, detikpos.id — Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) untuk meninjau ulang kebijakan Pengadilan Negeri (PN) Sorong yang memasang papan larangan pengambilan foto dan video di ruang sidang serta lingkungan pengadilan.
Menurut Wilson, larangan tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (2) dan (3).
“Pers nasional tidak boleh dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Keterbukaan informasi dalam proses hukum adalah fondasi penting bagi peradilan yang adil dan akuntabel,” ujar Wilson dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/6/2024).
Ia juga mengutip Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran, termasuk dokumentasi visual. Wilson menilai, larangan semacam itu dapat menghambat transparansi proses peradilan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga hukum.
“Sangat aneh jika lembaga penegak hukum justru dibiarkan membuat aturan yang berpotensi melanggar hukum. Mahkamah Agung perlu segera memberikan arahan agar kepercayaan publik terhadap sistem peradilan tetap terjaga,” lanjutnya.
PN Sorong Belum Memberikan Klarifikasi
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pengadilan Negeri Sorong belum memberikan pernyataan resmi terkait pemasangan papan larangan tersebut. Redaksi detikpos.id masih berupaya menghubungi pejabat berwenang di lingkungan PN Sorong maupun Humas MA RI untuk mendapatkan klarifikasi dan pandangan resmi terkait kebijakan tersebut.
Sebagai catatan, sejumlah pengadilan di Indonesia memiliki kebijakan internal yang membatasi pengambilan gambar di ruang sidang untuk menjaga ketertiban jalannya persidangan dan melindungi hak-hak pihak yang sedang berperkara. Namun demikian, kebijakan tersebut kerap menuai pro dan kontra, terutama di kalangan jurnalis dan aktivis keterbukaan informasi.
PPWI menegaskan bahwa permintaan ini bukan untuk menentang lembaga peradilan, tetapi sebagai upaya untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan hak publik untuk tahu tetap dijaga.
“Pengadilan itu dibiayai oleh rakyat. Sudah seharusnya rakyat mendapat akses terhadap proses hukum secara transparan,” pungkas Wilson, yang juga merupakan lulusan program pascasarjana bidang Global Ethics dan Applied Ethics dari beberapa universitas di Eropa.
Redaksi akan terus mengikuti perkembangan isu ini dan memuat tanggapan dari pihak PN Sorong atau Mahkamah Agung jika tersedia.
Pewarta: Yus