DETIKPOS.ID.JAKARTA——Penegakkan hukum di Indonesia merupakan permasalahan yang cukup serius. Sejatinya penegakan hukum harus bisa memberi kepastian kepada setiap masyarakat, bertanggung jawab, tidak pandang pilih dan harus memberikan rasa keadilan bagi semua masyarakat, tidak memihak dan tidak mudah di intervensi.
Dengan begitu menunjukan bahwa hukum berfungsi sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan masyarakat baik saat terjadi konflik atau tidak terjadi konflik bahkan setelah terjadi konflik dalam masyarakat.
Dalam hal ini, Agung Sulistio selaku Ketua II Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI) Pusat akan membahas rumusan permasalahan bagaimana penegakkan hukum tindak pidana pencurian menggunakan kekerasan dalam perundang-undangan hukum pidana Indonesia, bagaimana penegakan hukum pada tindak pidana pencurian melalui kekerasan.
Hasil penelitian dan investigasinya dilapangan banyak ditemukan oknum penagih hutang/debt colletor melakukan penarikan kendaraan debitur dijalan, menurutnya pelaku yang menarik kendaraan secara paksa dari pemilik yang sah adalah sebuah perbuatan pidana.
Agung Sulistio menyampaikan, “Penagih utang yang melakukan penarikan kendaraan debitur dijalan dapat disangkakan melakukan perbuatan tidak menyenangkan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 335 ayat 1 dengan pasal berlapis Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 365 jo Pasal 53 KUHP). “Ancaman hukumnya sembilan tahun penjara,” Ujarnya
Kemudian Ia mencontohkan 11 debt collector yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu juga ditahan di sel Polres Metro Jakarta Utara dan ditetapkan menjadi tersangka usai melakukan penarikan kendaraan secara paksa dari pemilik kendaraan yang sah.
Mereka adalah pelaku yang viral dalam video dengan narasi debt collector mengerubuti mobil yang dikendarai Bintara Pembina Desa (Babinsa) Sersan Dua, Nurhadi, di depan Tol Koja Barat terhadap mereka kemudian dilakukan penahanan.
Agung Sulistio secara tegas mengecam keras tindakan tersebut dan menyebut tindakan oknum debt collector itu sebagai tindakan premanisme.
“Itu preman-preman semuanya, tidak sah. Itu mereka ilegal semuanya, tidak punya kekuatan hukum karena melakukan penarikan kendaraan yang menunggak cicilan tanpa dibekali Sertifikasi Profesi Penagih Pembiayaan (SPPP).Ingat, ini negara hukum,” tegas Agung Sulistio
Ia juga menambahkan walaupun ada surat kuasa untuk 11 oknum debt collector itu, tapi tidak memiliki klasifikasi, keahlian, tidak memiliki dasar-dasar, SPPP-nya tidak ada, sama saja itu tindakan ilegal.
Lebih jauh lagi Agung mengungkapkan, “Untuk melakukan eksekusi agunan, debt collector harus melalui empat syarat. Yakni, pertama, memiliki surat kuasa dari leasing untuk penarikan agunan. Kedua, harus membawa sertifikat fidusia. Ketiga, membawa surat somasi tahap 1 dan 2, dan keempat debt collector terkait menunjukkan Sertifikat Profesi Penagihan Pembiayaan (SPPI) , “Ungkapnya
Pernyataan Agung Sulistio itu sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 35 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
Dalam Pasal 49 POJK terkait, disebutkan bahwa leasing wajib memiliki pedoman internal mengenai eksekusi agunan. Ayat 2 pasal tersebut melanjutkan bahwa OJK berwenang meminta perusahaan pembiayaan untuk menyesuaikan pedoman internal mengenai eksekusi agunan.
“Pasal 50 Ayat 1, Eksekusi agunan oleh perusahaan pembiayaan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. debitur terbukti wanprestasi. b. debitur sudah diberikan surat peringatan. c. perusahaan pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan dan atau sertifikat hipotek,” Pungkasnya.
pewarta:wrd