detikpos.id.– Dalam sistem demokrasi, jabatan publik bukan sekadar posisi administratif, melainkan amanah sosial yang melekat pada ekspektasi transparansi dan akuntabilitas. Kritik, dalam konteks ini, bukanlah serangan pribadi, melainkan cermin yang membantu pejabat melihat apa yang mungkin luput dari pandangan internal.
Namun, tidak sedikit pejabat yang masih alergi terhadap kritik. Alih-alih membuka ruang dialog, mereka memilih membentengi diri dengan intimidasi administratif, bahkan sering terjadi kriminalisasi terhadap jurnalis. Padahal, kritik yang disampaikan secara terbuka dan berbasis data adalah bagian dari ekosistem demokrasi yang sehat.
Kritik Bukan Musuh, Tapi Umpan Balik
Kritik yang jernih dan argumentatif seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan pemicu amarah. Seorang pejabat yang matang akan bertanya: “Apa yang bisa saya perbaiki?” bukan “Siapa yang berani mengkritik saya?”
Kritik bukanlah ancaman, melainkan sinyal bahwa publik masih peduli. Ketika kritik dibungkam, yang hilang bukan hanya suara, tapi kepercayaan.
Dasar Hukum yang Melindungi Kritik Publik
Hak masyarakat untuk menyampaikan kritik terhadap pejabat publik dijamin oleh berbagai regulasi:
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers: “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.”
Pasal 18 ayat (1) UU Pers: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana.”
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 115/PUU-XXII/2024: Menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat dan institusi negara bukanlah tindak pidana dan tidak dapat dikriminalisasi.
Dengan kata lain, pejabat publik tidak berhak memilih hanya pujian dan menolak pertanyaan yang kritis. Kritik adalah bagian dari kontrol sosial yang sah dan dilindungi.
Budaya Birokrasi yang Tahan Kritik
Pejabat yang terbuka terhadap kritik akan lebih dipercaya publik. Mereka tidak hanya menjalankan program, tapi juga membangun kepercayaan. Sebaliknya, pejabat yang anti kritik cenderung menciptakan ketakutan, bukan partisipasi.
Kematangan birokrasi bukan diukur dari seberapa cepat membalas kritik, tetapi dari seberapa dalam mereka merenungkan dan memperbaiki diri.
Penutup
Menjadi pejabat bukan hanya soal jabatan, tapi soal kesiapan mental untuk diuji, dikritik, dan diperbaiki. Kalau masih tersinggung dengan kritik, mungkin belum waktunya memikul amanah publik. (**)
Pewarta ys